SEBAGAI pengusaha kita harus memandang bahwa karyawan merupakan bagian penting di dalam suatu perusahaan. Kita sama-sama menyadari bahwa kita tidak mungkin bekerja seorang diri untuk mencapai tujuan-tujuan perusahaan bahkan tujuan-tujuan pribadi kita. Sebagai pengusaha, kita memerlukan orang lain untuk melaksanakan tu-gas-tugas yang dapat membantu kita mencapai tujuan-tujuan yang dibuat.
Tantangannya, bagaimanakah kita memperlakukan karyawan? Apakah kita menganggap karyawan sebagai aset atau kita menganggap mereka sebagai beban perusahaan?
Mari kita simak penuturan Fanny, seorang manajer perusahaan distri-busi. “Saya sangat senang bekerja di perusahaan ini, tingkat keterlibatan karyawan dalam perusahaan ini sa-ngat tinggi. Kami bukan sekadar kumpulan orang yang dipekerjakan untuk menunjukkan bahwa perusa-haan harus memiliki karyawan, namun kami sangat dilibatkan secara emosi, secara intelektual, secara sosial, dalam perencanaan dan di-perlakukan secara kekeluargaan. Sehingga setiap orang yang bekerja diperusahaan ini memberikan yang terbaik bagi perusahaan”. Fanny bisa merasakan perusahaan ini ber-gerak maju di semua bidang, ke suatu tujuan yang sama, bahkan dia bisa merasakan denyutnya. Pernyataan Fanny di atas jelas me-nunjukkan tingkat kepuasan yang tinggi atas perusahaan di mana dia bekerja. Jelas, perusahaan mem-punyai visi dan tujuan-tujuan yang jelas, di mana tujuan-tujuan tersebut di-share dengan baik kepada semua jajaran, sehingga pergerakan pe-rusahaan bisa dirasakan semua pihak. Sampai-sampai mereka bisa merasakan ‘denyutnya’.
Lain lagi penuturan Suwito, seorang kepada cabang yang baru di-hire sebuah perusahaan pembiayaan. Suwito sudah merasakan banyaknya kejanggalan di tempat bekerjanya yang baru itu. Menurutnya, ba-nyak ketidakjelasan peraturan di perusahaan itu. ”Sebagai contoh, seharusnya perusahaan memikirkan keperluan dana operasional kantor baru seperti kami. Namun, sampai detik terakhir kantor mau diresmikan, kami tidak menerima transfer dana dari pusat buat pengeluaran rutin kami. Sehingga banyak pengeluaran kantor yang harus kami keluarkan dari kantong pribadi dahulu dan perusahaan ”do not bother to ask”,” kata Suwito.
Misalnya, lanjut Suwito, minggu lalu listrik kantor hampir diputus karena menunggak beberapa bulan sejak renovasi kantor dimulai sampai kantor rapi dan siap beroperasi. ”Jadi, saya harus nalangin dulu bayar listrik yang tertunggak beberapa bulan supaya tidak diputus,” kata Suwito seraya melanjutkan bahwa dirinya baru menyadari perusahaan itu dikelola dengan ’negative spirit’”. Maksudnya, semua dimulai dengan pandangan yang negatif. Jika se-orang karyawan punya inisiatif, misalnya, maka dia bisa dicurigai sebagai ’pencuri potensial’. Segala pengeluaran biaya harus yang paling murah – kalau perlu yang gratisan, tidak peduli kualitas dan kepentingannya. ”Sebuah tujuan selalu dianggap tidak mungkin dicapai,” lanjutnya menerangkan.
Rekan pemimpin, memang, seharusnya kita bisa melihat bahwa karyawan adalah aset yang paling besar yang dimiliki perusahaan. Sayangnya tidak banyak perusahaan yang menunjukkan langkah-langkah dan kebijakan-kebijakan yang me-nunjukkan bahwa karyawan adalah aset terbesar. Seringkali di banyak perusahaan, karyawan masih diang-gap sebagai beban perusahaan. Secara total gaji yang dibayarkan setiap bulan memang biaya yang cukup besar dibandingkan biaya-biaya lainnya. Sehingga bagi banyak pemilik perusahaan, biaya ini menjadi beban yang perlu dipangkas dan diawasi setiap saat.
Seorang rekan yang bekerja di sebuah perusahaan jasa keuangan mengeluhkan kenaikan gajinya yang minim. Sejak dia bergabung di perusahaan itu sejak beberapa tahun lalu, kenaikan gajinya secara keseluruhan selalu lebih kecil dari tinggat inflasi. ”Kenaikan gaji saya hanya berkisar 3 – 4% setahun, padahal prestasi saya diakui sangat baik,” katanya dengan senyuman pahit. Dia pun berterus terang kalau sebenarnya, dia prihatin dengan sistem penggajian di perusahaan. Ternyata perusahaan tersebut tidak memiliki sistem penggajian yang baku. Setiap penerimaan karya-wan baru diberikan gaji hanya berdasarkan kebiasaan besarnya gaji untuk posisi tersebut. Namun, apakah besaran tersebut kompetitif terhadap industri, mereka tidak pernah mengetahuinya, karena memang tidak pernah dilakukan ‘benchmarking’ atau survei.
Sistem kenaikan gaji pun kurang jelas. Tidak ada patokan yang dapat digunakan untuk kenaikan gaji. Sistem penilaian memang dilakukan, namun sifatnya lebih cuma ‘basa-basi’ saja. Nilai akhir penilaian tahunan tersebut bukan acuan kenaikan gaji yang diperoleh karyawan. Karena pada akhirnya kenaikan gaji ditentukan oleh pemilik perusahaan secara pribadi/personal. Jadi dasar yang dipergunakan juga kurang jelas. Bisa saja dasarnya kenaikan gaji tahun-tahun sebelumnya yang diulang sebagai kenaikan gaji tahun ini. Dia melihat bahwa sistem penggajian seperti itu karena karyawan belum dianggap sebagai aset perusahaan, namun beban.
Sudah saatnya kita melihat karyawan kita lebih dari sekadar orang-orang yang kita pekerjakan karena memang sebuah perusahaan harus memiliki pegawai. Namun membiarkan karyawan setiap tahunnya tanpa tujuan dan produktivitas yang jelas adalah sebuah pemborosan. Memang ada pengusaha yang memiliki tujuan-tujuan pribadi atau ‘hidden agenda’ atas perusahaan mereka. Akibatnya mereka membiarkan perusahaan menjadi statik, asalkan secara pembukuan sudah menguntungkan mereka sudah merasa puas. Mereka juga tidak berani untuk bereksplorasi lebih jauh mencoba hal-hal baru atau memberikan delegasi lebih besar dan lebih banyak kepada para profesional yang mereka pekerjakan. Karena setiap pengembangan bisnis pada dasarnya memiliki risiko tertentu. Jadi, daripada kehilangan sesuatu akibat mencoba sesuatu yang baru, mereka membiarkan perusahaan menjadi statis dengan memasung kreativitas para profesionalnya.
Rekan pemimpin, be-berapa hal di atas mungkin terjadi di perusahaan kita. Namun, saya yakin bahwa perusahaan yang dimiliki pengusaha kristiani seharusnya dapat memikirkan karyawannya dengan lebih baik. Sekali lagi, karyawan adalah partner kerja kita. Libatkan mereka dengan ‘engagement level’ yang lebih baik, saya yakin mereka akan menjadi aset yang tak tertandingi – yang mampu menghasilkan keuntungan multiplikasi berlipat ganda untuk perusahaan Anda. Berikan karyawan lebih banyak tanggung jawab, maka mereka akan membuat keputusan-keputusan yang lebih baik. Dengan membuat karyawan lebih bertanggung jawab akan membuat perusahaan Anda lebih produktif. Saya yakin pengusaha pasti bisa.
sumber: http://reformata.com/news/view/5641/bagi-pengusaha-kristianikaryawan-aset-atau-beban
Read More...
Tantangannya, bagaimanakah kita memperlakukan karyawan? Apakah kita menganggap karyawan sebagai aset atau kita menganggap mereka sebagai beban perusahaan?
Mari kita simak penuturan Fanny, seorang manajer perusahaan distri-busi. “Saya sangat senang bekerja di perusahaan ini, tingkat keterlibatan karyawan dalam perusahaan ini sa-ngat tinggi. Kami bukan sekadar kumpulan orang yang dipekerjakan untuk menunjukkan bahwa perusa-haan harus memiliki karyawan, namun kami sangat dilibatkan secara emosi, secara intelektual, secara sosial, dalam perencanaan dan di-perlakukan secara kekeluargaan. Sehingga setiap orang yang bekerja diperusahaan ini memberikan yang terbaik bagi perusahaan”. Fanny bisa merasakan perusahaan ini ber-gerak maju di semua bidang, ke suatu tujuan yang sama, bahkan dia bisa merasakan denyutnya. Pernyataan Fanny di atas jelas me-nunjukkan tingkat kepuasan yang tinggi atas perusahaan di mana dia bekerja. Jelas, perusahaan mem-punyai visi dan tujuan-tujuan yang jelas, di mana tujuan-tujuan tersebut di-share dengan baik kepada semua jajaran, sehingga pergerakan pe-rusahaan bisa dirasakan semua pihak. Sampai-sampai mereka bisa merasakan ‘denyutnya’.
Lain lagi penuturan Suwito, seorang kepada cabang yang baru di-hire sebuah perusahaan pembiayaan. Suwito sudah merasakan banyaknya kejanggalan di tempat bekerjanya yang baru itu. Menurutnya, ba-nyak ketidakjelasan peraturan di perusahaan itu. ”Sebagai contoh, seharusnya perusahaan memikirkan keperluan dana operasional kantor baru seperti kami. Namun, sampai detik terakhir kantor mau diresmikan, kami tidak menerima transfer dana dari pusat buat pengeluaran rutin kami. Sehingga banyak pengeluaran kantor yang harus kami keluarkan dari kantong pribadi dahulu dan perusahaan ”do not bother to ask”,” kata Suwito.
Misalnya, lanjut Suwito, minggu lalu listrik kantor hampir diputus karena menunggak beberapa bulan sejak renovasi kantor dimulai sampai kantor rapi dan siap beroperasi. ”Jadi, saya harus nalangin dulu bayar listrik yang tertunggak beberapa bulan supaya tidak diputus,” kata Suwito seraya melanjutkan bahwa dirinya baru menyadari perusahaan itu dikelola dengan ’negative spirit’”. Maksudnya, semua dimulai dengan pandangan yang negatif. Jika se-orang karyawan punya inisiatif, misalnya, maka dia bisa dicurigai sebagai ’pencuri potensial’. Segala pengeluaran biaya harus yang paling murah – kalau perlu yang gratisan, tidak peduli kualitas dan kepentingannya. ”Sebuah tujuan selalu dianggap tidak mungkin dicapai,” lanjutnya menerangkan.
Rekan pemimpin, memang, seharusnya kita bisa melihat bahwa karyawan adalah aset yang paling besar yang dimiliki perusahaan. Sayangnya tidak banyak perusahaan yang menunjukkan langkah-langkah dan kebijakan-kebijakan yang me-nunjukkan bahwa karyawan adalah aset terbesar. Seringkali di banyak perusahaan, karyawan masih diang-gap sebagai beban perusahaan. Secara total gaji yang dibayarkan setiap bulan memang biaya yang cukup besar dibandingkan biaya-biaya lainnya. Sehingga bagi banyak pemilik perusahaan, biaya ini menjadi beban yang perlu dipangkas dan diawasi setiap saat.
Seorang rekan yang bekerja di sebuah perusahaan jasa keuangan mengeluhkan kenaikan gajinya yang minim. Sejak dia bergabung di perusahaan itu sejak beberapa tahun lalu, kenaikan gajinya secara keseluruhan selalu lebih kecil dari tinggat inflasi. ”Kenaikan gaji saya hanya berkisar 3 – 4% setahun, padahal prestasi saya diakui sangat baik,” katanya dengan senyuman pahit. Dia pun berterus terang kalau sebenarnya, dia prihatin dengan sistem penggajian di perusahaan. Ternyata perusahaan tersebut tidak memiliki sistem penggajian yang baku. Setiap penerimaan karya-wan baru diberikan gaji hanya berdasarkan kebiasaan besarnya gaji untuk posisi tersebut. Namun, apakah besaran tersebut kompetitif terhadap industri, mereka tidak pernah mengetahuinya, karena memang tidak pernah dilakukan ‘benchmarking’ atau survei.
Sistem kenaikan gaji pun kurang jelas. Tidak ada patokan yang dapat digunakan untuk kenaikan gaji. Sistem penilaian memang dilakukan, namun sifatnya lebih cuma ‘basa-basi’ saja. Nilai akhir penilaian tahunan tersebut bukan acuan kenaikan gaji yang diperoleh karyawan. Karena pada akhirnya kenaikan gaji ditentukan oleh pemilik perusahaan secara pribadi/personal. Jadi dasar yang dipergunakan juga kurang jelas. Bisa saja dasarnya kenaikan gaji tahun-tahun sebelumnya yang diulang sebagai kenaikan gaji tahun ini. Dia melihat bahwa sistem penggajian seperti itu karena karyawan belum dianggap sebagai aset perusahaan, namun beban.
Sudah saatnya kita melihat karyawan kita lebih dari sekadar orang-orang yang kita pekerjakan karena memang sebuah perusahaan harus memiliki pegawai. Namun membiarkan karyawan setiap tahunnya tanpa tujuan dan produktivitas yang jelas adalah sebuah pemborosan. Memang ada pengusaha yang memiliki tujuan-tujuan pribadi atau ‘hidden agenda’ atas perusahaan mereka. Akibatnya mereka membiarkan perusahaan menjadi statik, asalkan secara pembukuan sudah menguntungkan mereka sudah merasa puas. Mereka juga tidak berani untuk bereksplorasi lebih jauh mencoba hal-hal baru atau memberikan delegasi lebih besar dan lebih banyak kepada para profesional yang mereka pekerjakan. Karena setiap pengembangan bisnis pada dasarnya memiliki risiko tertentu. Jadi, daripada kehilangan sesuatu akibat mencoba sesuatu yang baru, mereka membiarkan perusahaan menjadi statis dengan memasung kreativitas para profesionalnya.
Rekan pemimpin, be-berapa hal di atas mungkin terjadi di perusahaan kita. Namun, saya yakin bahwa perusahaan yang dimiliki pengusaha kristiani seharusnya dapat memikirkan karyawannya dengan lebih baik. Sekali lagi, karyawan adalah partner kerja kita. Libatkan mereka dengan ‘engagement level’ yang lebih baik, saya yakin mereka akan menjadi aset yang tak tertandingi – yang mampu menghasilkan keuntungan multiplikasi berlipat ganda untuk perusahaan Anda. Berikan karyawan lebih banyak tanggung jawab, maka mereka akan membuat keputusan-keputusan yang lebih baik. Dengan membuat karyawan lebih bertanggung jawab akan membuat perusahaan Anda lebih produktif. Saya yakin pengusaha pasti bisa.
sumber: http://reformata.com/news/view/5641/bagi-pengusaha-kristianikaryawan-aset-atau-beban